Yerusalem (al-Quds) adalah kota
yang sangat tua, dan sekarang telah menjadi kota suci tiga agama, yakni Yahudi,
Kristen, dan Islam.
Kota yang
juga disebut sebagai al-Harâm al-Syarîf (Tempat Suci yang Mulia) ini terletak
pada dataran di atas bukit Moriah dalam kawasan kota lama yang dikelilingi
tembok besar dan tinggi.
Perjalanan kota ini pun penuh dengan konflik panjang. Tempat yang mulanya
merupakan rumah suci agama Yahudi ini yang disebut Bait Allah serta The
Solomon Temple (Haykal
Sulaymân) inipun sudah dua kali mengalami penghancuran, pertama oleh Raja
Nebuchadnezzar dari Babilonia (587 SM), dan kedua oleh Kaisar Titus dari
Romawi (70 M). Kedua peristiwa tersebut disebutdalam Alquran Surat Al-Isra’
ayat 4-8.
Sejak itu, bangsa Yahudi tidak mempunyai rumah sucinya, yang tertinggal hanya
Tembok Ratapan untuk mengenang nasibnya.
Sampai saat ini, sebagai rumah
suci agama Yahudi, bekas Haykal Sulaymân itu tidak pernah dibangun lagi,
sehingga pusat agama Yahudi pun bergeser ke sinagog-sinagog yang menyebar ke
seluruh muka bumi.
Onislam.net melansir, ketika Kaisar Titus
menghancurkan rumah suci itu, orang-orang Yahudi dilarang tinggal di Kanaan
(Palestina Selatan) dan Yerusalem, sehingga mereka mulai hidup dalam diaspora,
terlunta-lunta tanpa tanah air dan menyebar ke seluruh dunia.
Kaum
Yahudi mengumpulkan kembali kekuatan dan mencoba melawan Romawi pada 132
Masehi. Tetapi, peristiwa ini malah menjadikan mereka ditindas secara lebih
kejam lagi oleh kaisar pada waktu itu, Hadrian melalui Jenderal Severus.
Selanjutnya pada 135 Masehi, kekaisaran Romawi ingin melenyapkan bangsa dan
agama Yahudi dengan membangun sebuah kota kecil di pusat Yerusalem, yang
disebut Aelia Capitolina yang berarti kota kecil untuk Dewi Aelia, berhala
bangsa Roma.
Di Bukit Moriah tempat bekas Haykal Sulaymân itu pun dibangun patung yang
menghadap dewi berhala itu, patung yang didedikasikan kepada Dewa Jupiter.
Kemudian di Golgota juga didirikan kuil untuk berhala Venus sebagai penghalang
perkembangan agama Kristen, yang pada waktu itu mulai tumbuh. Keadaan ini terus
berlangsung hingga akhir abad ketiga Masehi.
Pada abad keempat, Kaisar Konstantin masuk agama Kristen, dan menjadikan agama
Kristen sebagai agama kekaisaran Romawi pada 313 M.
Yerusalem
pun dikuasai oleh agama Kristen, dan ditandai dengan berdirinya banyak gereja.
Di antaranya yang terkenal adalah Gereja The Holy Sepulcher (Keluarga Suci) yang disebut oleh
orang Arab sebagai Kanîsat-u ‘l-Qiyamah (Gereja Kebangkitan).
Gereja The Holy Sepulcher dibangun oleh Ratu Helena, ibunda Kaisar, dan menjadi
tempat paling suci bagi agama Kristen di Yerusalem. Gereja ini pun beberapa
kali mengalami penghancuran dan pembangunan kembali sejalan dengan
penguasa-penguasa Yerusalem.
Onislam.net melansir, ada cerita yang menarik
mengenai Gereja Sepulchre ini, yaitu ketika Khalifah ‘Umar ibn Khaththâb datang
ke Yerusalem untuk menandatangani Dokumen Aelia (Mîtsâq Ailiyâ) yang dicatat
oleh Ibn Khaldûn, “‘Umar ibn al-Khaththâb masuk Bayt-u ‘l-Maqdis dan
sampai ke Gereja Qumâman (Qiyâmah) lalu berhenti di plazanya.
Waktu sembahyang pun datang, maka ia katakan kepada Patriakh, "Aku hendak
sembahyang." Jawab Patriakh, "Sembahyanglah di tempat Anda."
Umar
menolak, dan kemudian sembahyang sendirian pada anak tangga yang ada pada
gerbang gereja itu.
Setelah selesai dengan sembahyangnya, ia berkata kepada Patriakh, "Kalau
seandainya aku sembahyang di dalam gereja, maka tentu kaum Muslim sesudahku
akan mengambilnya dan berkata, ‘Di sini dahulu ‘Umar sembahyang!".
Umar pun menulis perjanjian untuk mereka bahwa pada tanggal itu tidak boleh ada
jamaaah sembahyang [di tempat itu] dan tidak pula akan dikumandangkan adzan
padanya. Kemudian Umar berkata kepada Patriakh, "Sekarang tunjukkan aku
tempat yang di situ aku dapat mendirikan sebuah masjid."
Patriakh berkata, "Di atas
Karang Suci (Shakhrah) yang di situ dahulu Allah pernah berbicara kepada Nabi
Ya‘qub."
Umar bin
Khattab mendapati di atas karang itu banyak darah, maka ia pun mulai
membersihkannya dan mengambil darah itu dengan tangannya sendiri dan
mengangkatnya dengan bajunya. Semua kaum Muslim mengikuti jejaknya, sampai
sampah itu bersih, dan ketika itu juga ia perintahkan untuk mendirikan masjid
di Yerusalem.
Pada saat itu, pusat kota suci dibagi-bagi menjadi satu sektor Yahudi, dua sektor
Kristen (Armenia dan Ortodoks – karena mereka tidak bisa disatukan), dan (tanpa
disebut sektor) satu areal yang lebih luas untuk Islam.
Kelak, di tempat Islam tersebut didirikan dua bangunan dalam komplek yang
disebut Masjid Aqsha, yaitu oleh Khalifah ‘Abd al-Mâlik ibn Marwân yang
membangun Qubbat al-Shakhrah atau The Dome of The Rock(pada
72 H/691 M) yang pernah menjadi kiblat pertama Islam, dan tempat Nabi Muhammad
menjejakkan kaki menuju Sidrat-u ‘l-Muntahâ dalam peristiwa mi‘râj; dan sebuah
masjid yang didirikan oleh Khalifah al-Wâlid ibn ‘Abd al-Malîk.
Mengikuti tafsir konvensional, yaitu yang sekarang ini dianut oleh
sebagian besar umat Islam, memang ada indikasi bahwa sesungguhnya yang
membuat Masjid Aqsha begitu penting adalah ‘Abd al-Mâlik ibn Marwân, walaupun
hal ini sampai sekarang masih menjadi polemik.
Onislam,net mencatat bahwa Ibn Taymîyah, misalnya,
tidak menyukai pendapat itu. Jelas bahwa Masjid Aqsha itu amat penting, karena
dia merupakan kiblat yang pertama.
Pada waktu masih di Makkah, Nabi
Muhammad SAW shalat menghadap Yerusalem. Tetapi, karena pada saat yang
bersamaan, Rasulullah juga menghadap Kakbah, maka Rasulullah memilih arah
selatan Kakbah sehingga menghadap Kakbah dan Yerusalem sekaligus.
Ketika
Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah, hal itu tidak bisa dilakukannya lagi, maka
terpaksalah beliau menghadap ke utara (ke Yerusalem) di mana Kakbah berada di
belakangnya.
Posisi membelakangi Kakbah ini membuat Nabi tidak merasa tentram. Maka, beliau
memohon kepada Allah supaya diizinkan pindah kiblat. Doa Nabi dikabulkan. Maka,
dikatakan bahwa pindahnya kiblat ke Makkah itu disebabkan doa Nabi.
Demikianlah Yerusalem, dengan sejarahnya yang penuh konflik, ia telah menjadi
tempat suci dari tiga agama, Yahudi, Kristen, dan Islam.
Yerusalem
pun menjadi lambang pertemuan dari tiga agama monoteis yang berakar pada agama
Ibrahim.
Walaupun akhirnya ketiga agama ini mempunyai persamaan dan perbedaan secara
teologis, perbedaan dan persamaan itu tidaklah menghalangi kita bersama untuk
menjalin kerukunan hidup beragama.
No comments:
Post a Comment